KH. Tholchah Hasan: Capaian dan Pengaruh Pendidikan Agama Dipertanyakan
Capaian dan Pengaruh Pendidikan Agama dipertanyakan. Penegasan ini disampaikan oleh pakar pendidikan Islam, KH. Tholchah Hasan, ketika menjadi narasumber dalam Temu Pakar Pendidikan Islam: Deradikalisasi, Multikultural, Wawasan Kebangsaan, serta Penguatan Akhlakul Karimah, di Hotel Santika, TMII, Jakarta, Senin (24/09).
“Banyaknya perilaku menyimpang di kalangan pemuda pelajar, seperti radikalisasi, narkoba, pergaulan bebas, dan kriminalitas, memunculkan pertanyaan tentang sampai di mana capaian dan pengaruh Pendidikan Agama Islam (PAI) terhadap perubahan perilaku dan sikap peserta didik di sekolah,” ujar Kyai Tholchah.
Menurut Kyai Tholchah, setidaknya ada 5 faktor yang perlu dicermati dalam merespon problem pendidikan PAI, yaitu: Pertama, faktor guru agama dan kompetensinya. Problem penguasaan materi ajar guru PAI masih sangat terbatas.
Bahkan, tidak semua guru agama di sekolah mempunyai kelayakan mengajar agama, baik dari segi penguasaan bahan ajar, performa dalam menjalankan tugas, maupun keteladanan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, perlu adanya pembekalan berkesinambungan bagi peguatan penguasaan guru terhadap materi ajar.
Selain itu, pendidikan agama juga lebih terfokus pada aspek kognitif, bukan efektif. Pendidikan agama masih terhenti pada pengajaran ilmu agama, belum mencapai internalisasi nilai. Pendekatannya masih pada a’malul jawarih, tidak sampai a’malul qulub.
Guru agama juga lebih mencerminkan dirinya sebatas sebagai pendidik professional, tidak bisa menjadi pendakwah yang bertanggungjawab terhadap pendidikan spiritual. Kompetensi leadership guru agama lemah. Padahal, menurut Kyai Tholchah, di luar kompetensi pendidik yang diatur dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khusus guru agama, harus ada 2 kompetensi yang dikuasai, yaitu: leadership dan spiritual. Akibat dari semua ini adalah pendidikan agama di sekolah terasa kering.
Kedua, faktor habituasi yang kurang mendukung. Menurut Kyai Tholchah, guru agama kurang menggunakan soft-skill secara kreatif sehingga sulit dalam membentuk lingkungan keagamaan yang mendukung. Selain itu, apresiasi dan dukungan komunitas sekolah juga sering kurang memadai. Akibatnya fasilitas dan sarana pembejaran PAI sangat terbatas.
Ketiga, kelangkaan figur teladan. Pendidikan agama dan pembentukan karakter luhur, membutuhkan figur keteladanan (uswah hasanah). Tanpa itu, pendidikan agama akan kering dan hambar. Sayangnya, keteladanan justru mulai langka di sekolah. Guru agama bahkan tidak mampu menjadi teladan di sekolahnya. Banyak guru agama yang minder di sekolahnya, dan merasa lebih rendah di banding guru lain.
Keempat, lemahnya pembinaan. Dinamika sosial yang demikian kompleks menuntut adanya pembinaan terhadap guru agama untuk mengurangi kesenjangan wawasan dan ilmu pengetahun.
Tampil sebagai narasumber kedua, Azyumardi Azra sependapat dengan gagasan yang diusulkan oleh Kyai Tholchah. Lebih dari itu, Azyumardi menegaskan bahwa pentingnya program dan upaya yang dilakukan secara simultan menyangkut pendidikan agama.
Tampil sebagai narasumber kedua, Azyumardi Azra sependapat dengan gagasan yang diusulkan oleh Kyai Tholchah. Lebih dari itu, Azyumardi menegaskan bahwa pentingnya program dan upaya yang dilakukan secara simultan menyangkut pendidikan agama.
“Tidak hanya dilakukan oleh Direktorat PAI, tapi juga direktorat lainnya,” tegas Azyumardi.
Lebih lanjut, Azyumardi meminta agar kurikulum mata pelajaran PAI direview. Topik-topik tertentu harus dapat dikontekstualisasikan dengan kebangsaan dan kenegaraan. Keimanan tidak sekedar beorientasi pada pembahasan tentang keimanan terhadap Tuhan, tetapi juga menyangkut kecintaan terhadap tanah air dan amal saleh. “Perlu konsolidasi organisasi siswa, (OSIS, Rohis, IPNU/IPPNU, IPM, PII, dan lainnya), dan training kepemimpinan yang berorientasi pada kontekstualisasi ajaran Islam dalamkehidupan berbangsa dan bernegara,” tutup Azyumardi.
Sumber :www.kemenag.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar