Sambut Era Revolusi Mental Dengan Kembangkan Lima Budaya Kerja
Indonesia dalam beberapa hari ke
depan akan memasuki masa transisi seiring adanya pergantian Presiden dari
Soesilo Bambang Yushoyono ke Joko Widodo. Revolusi mental menjadi salah satu
isu utama pada masa pergantian kepemimpinan nasional ini.
Sebagai bagian dari Kementerian, hal
ini tentu perlu direspon oleh Kementerian Agama. Karenanya, menyambut era
revolusi mental, Mantan Sekjen Kemenag Bahrul Hayat menyarankan jajaran Kemenag
untuk menyambut era revolusi mental dengan mengembangkan budaya kerja yang
lebih baik demi meningkatkan kualitas pelayanan publik di masa mendatang.
“Budaya adalah perekat di mana semua
orang di dalam 0rganisasi menjadi menyatu. Culture seperti besi magnet di mana
molekul dari besi magnet mengarah ke arah tertentu, sementara molekul
besi biasa itu terpencar. Budaya bisa mengarahkan sebenarnya ke arah mana
organisasi akan berjalan,” tegas Bahrul saat menjadi Narasumber pada Rapim
Eselon I Kementerian Agama Tahun Anggaran 2014.
“Budaya kerja adalah tata nilai yang
dibangun bersama dan dikomitmenkan bersama lalu dinyatakan dalam tindakan,”
tambahnya.
Menurut Bahrul, setidaknya ada lima
budaya kerja yang perlu terus dikembangkan Kementerian Agama, yaitu:
Pertama, budaya mengabdi. Dikatakan
Bahrul bahwa budaya mengabdi merupakan sesuatu yang mutlak karena Kemenag
merupakan organisasi publik yang bertugas melayani publik. “Mental pertama yang
harus dimiliki seluruh aparatur adalah budaya untuk mengabdi,” terangnya.
Mengadi, kata Bahrul, adalah
menyerahkan energi dan pikiran kita untuk membangun Kemenag agar dapat
memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat. “Aparatur kemenag memegang
fungsi risalah kenabian. Abdikan diri untuk membawa misi mulia ini; bagaimana
agar seluruh karyawan Kemenag memahami bahwa kita adalah organisasi yang
melayani,” tegasnya.
Kedua, budaya belajar. Bahrul
mengetakan bahwa Kemenag ke depan harus menjadi learning organization,
menjadi organisasi pembelajar. Maksudnya, kementerian di mana seluruh
orang yang ada di dalamnya mau terus belajar, dan pada saat yang sama juga
melakukan unlearning (melepas) terhadap segala sesuatu yang tidak baik.
“Kalau ini tidak dikembangkan,
kementerian ini akan tertatih-tatih oleh perkembangan. Hilangkan sikap atasan
bahwa ketika anak buah berkembang itu ancaman,” kata Bahrul.
“Kemenag harus menjadi learning
organisation. Tidak semua harus melalui sekolah atau kursus, tapi diawali
dari arahan langsung dan keteladanan dari atasan,” imbuhnya.
Ketiga, budaya unggul. Organisasi
yang mempunyai budaya unggul akan senantiasa mendorong setiap orang
didalalmnya untuk berprestasi. “Jangan ada orang yang merasa tidak punya ruang
berprestasi. Jangan ada atasan yang merasa takut kalau anak buahnya berprestasi,”
ujar Bahrul.
“Dorong setiap orang bekerja pada
titik maksimal. Yakinkan aparatur bahwa Kemenag bisa unggul. Yakinkan semua
orang bisa berprestai unggul,” tambahnya.
Keempat, budaya bekerjasama.
Dikatakan Bahrul bahwa team building, team work, merupakan keniscayaan dalam
organisasi. Organisasi ada karena kita berkumpul untuk tujuan yang sama.
“Kekuatan anda akan diuji pada seberapa anda mampu menggerakan hasil terbaik
bersama orang lain,” tandasnya.
Kelima, budaya ikhlas. Menurut
Bahrul, ikhlas penting. Sebab, ruh dari semuanya adalah mengikhlaskan
seluruh pekerjaan.
Bahrul mengatakan bahwa kelima budaya
tersebut mudah untuk dikatakan, tapi tuidak mudah untuk melaksanakannya. Untuk
itu, dibutuhkan leadership yang kuat.
“Kultur dibangun dari pimpinan.
Leadership menjadi sangat penting. Leadership kita diuji untuk menerapkan 5
kultur ini di masa mendatang,” terangnya.
Bahrul menambahkan bahwa setidaknya
ada 3 hal penting yang harus dimiliki oleh seorang dengan leadership yang baik,
yaitu: logos, etos, dan patos. Menurutnya, pemimpin harus mempunyai pengetahuan
dan nalar (logos). “Logik menjadi kekuatan leader. Jika pimpinan tidak bisa
mengambil keputusan logik, bawahan pusing,” ujarnya.
Pemimpin juga harus memiliki etos
yang mewujud dalam integritas. Menurut Bahrul, jika seseorang mempunyai logos,
tapi tidak memiliki etos, maka aparat tidak akan nurut karena
integritasnya dipertanyakan.
Hal terakhir yang harus dimiliki
seorang leader adalah patos atau empati pada semua orang di lingkungannya.
Menurutnya, empati menjadi bagian persoalan penting dalam leadership.
“Kalau ini bisa diterapkan, maka
leadership akan kuat untuk menancapkan tata nilai. Leadership tidak bisa
diajarkan, tapi diperlukan keteladanan,” ungkapnya.
“Memimpin bukanlah hak, karena kita
pegwai negeri. Memimpin merupakan amanah, pengabdian dan tanggung jawab. Maka
pimpinlah dengan nurani dan akal sehat, pikiran dan hati. Jika ini tidak
digunakan, maka transformasi budaya yang dibangun akan gagal,” pesannya.
(sumber : www.kemenag.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar